OLEH:
ARYADI
LINTUMAN
(15709251079)
Makalah
ini ditulis untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Filsafat Ilmu
(Dosen
Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A.)
BAB I
PENDAHULUAN
Hidup
manusia terdiri dari dua bagian utama yaitu berpikir dan mengalami, maka segala
sesuatu dalam hidup manusia itu selalu berkaitan dengan pikiran dan
pengalamannya. Manusia telah mengalami dan memikirkan banyak hal dalam hidupnya
dan diantara semua hal itu baik yang dipikirkan maupun yang dialami manusia,
ada yang bisa dipahaminya dan ada yang tidak bisa dipahaminya. Pikiran manusia
itu terbatas untuk memikirkan dan memahami segala sesuatu sehingga pasti ada
hal yang tidak bisa dipahaminya. Namun, untuk hal yang bisa dipahami oleh
manusia sesungguhnya tidaklah berhenti sampai disitu karena ketika manusia semakin
mencoba memikirkannya maka ia akan menemukan banyak hal baru yang bahkan tidak
mampu ia pahami. Inilah yang dalam filsafat disebut sebagai fenomena puncak
gunung es.
Fenomena
puncak gunung es berkaitan dengan segala sesuatu yang dapat dipersepsikan dan
mampu dipikirkan oleh manusia. Semua hal yang mampu dipersepsikan dan
dipikirkan oleh manusia itulah yang kemudian menjadi pengetahuan manusia. Namun
semua pengetahuan manusia itu ibarat sebuah pintu yang memiliki rahasia dibaliknya.
Masuknya, memiliki pengetahuan sebanyak-banyaknya adalah suatu hal yang penting
tetapi lebih penting lagi yaitu penjelasan akan pengetahuan tersebut. Dengan
kata lain manusia bisa mengetahui segala sesuatu tetapi apakah manusia itu
mampu memahami dan mengerti sebenar-benar pengetahuan yang ia miliki? Tanpa
penjelasan yang baik, suatu pengetahuan tidak akan ada artinya atau tidak
bermakna. Hal inilah yang dalam filsafat
disebut sebagai mitos.
Dalam
menjalani hidup, manusia selalu berusaha mencari kejelasan dan kenyamanan,
namun ketika manusia telah merasa menemukan kejelasan dan kenyamanan itu maka
seketika itu juga mereka terancam oleh mitos. Mengapa demikian? Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa pikiran manusia itu terbatas adanya maka
kejelasan tersebut sesungguhnya hanyalah sebatas apa yang dapat dipikirkan oleh
manusia. Dengan kata lain kejelasan tersebut bukanlah yang sebenar-benarnya. Sementara
kenyamanan itu identik dengan keadaan diam, berhenti, dan merasa cukup. Hal
inilah yang membuat manusia itu malas untuk berusaha sehingga kehidupannya akan
semakin tenggelam dalam mitos. Padahal sebenar-benar hidup itu haruslah semakin
hari semakin bertumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik.
Pada
dasarnya, secara alamiah pertumbuhan dan perkembangan dalam hidup manusia
adalah proses yang berlangsung seumur hidup. Begitupun proses mencari sebenar-benar
kejelasan dalam hidup manusia pun berlangsung seumur hidup manusia. Proses
mencari sebenar-benar kejelasan itulah yang dalam filsafat disebut sebagai
proses menggapai logos. Logos adalah lawan dari mitos, maka sebenar-benar logos
adalah keadaan tidak berhenti dan jauh dari kenyamanan. Manusia akan dapat
mengembangkan hidupnya menjadi lebih baik jika ia mampu keluar dari zona
nyamannya dan membebaskan dirinya dari jebakan-jebakan mitos dalam hidupnya.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kehidupan kita sebagai manusia pada
dasarnya telah dan sedang terancam menjadi mitos, maka perlu bagi manusia itu
untuk membongkar mitos-mitos dalam hidupnya. Membongkar mitos dan menggapai
logos tidak lain merupakan upaya dari filsafat. Filsafat adalah ilmu yang
memiliki cakupan yang sangat luas dan memandang serta berusaha menjelaskan
suatu hal dari berbagai sudut pandang. Selain itu, filsafat juga adalah ilmu
yang selalu berusaha mempertanyakan segala sesuatu sehingga tiadalah suatu hal
itu dalam pandangan filsafat yang mencapai titik jelas.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Filsafat
Filsafat adalah ilmu yang
berkaitan dengan pikiran dan cara berpikir atau secara sederhana disebut
sebagai olah pikir. Sebagai olah pikir, filsafat sangat memperhatikan berbagai
aspkek dari apa yang dipikirkan yaitu sumber-sumber pikirnya, pembenarannya,
logika, cakupannya, objeknya, metodologinya, tata cara, etik, estetika, menurut
siapa, kapan, dan dimana. Selain itu, filsafat terdiri atas tiga aspek yaitu
aspek ontologi yang tidak lain adalah hakekatnya, aspek epistemologi yang
merupakan metodologinya dan aspek estetika yang berkaitan dengan benar-salah
dan baik-buruknya. Ketiga aspek tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain
sehingga mempelajari salah satunya secara tidak langsung kita telah mempelajari
yang lainnya. Namun ketiga aspek tersebut secara umum telah tercakup dalam
salah satu aspek yaitu pada aspek epistemologinya.
Cakupan filsafat itu sangat luas
yaitu mencakup semua yang ada dan yang mungkin ada di alam semesta ini. Hal ini
tentu akan berakibat pada cara berpikir yang tidak terarah dan tidak terbatas.
Karena itu, untuk mempelajari filsafat diperlukan koridor berpikir yang paling
tinggi dan membawahi serta mendasari segala yang ada dan yang mungkin ada itu
yaitu spiritual. Spiritual merupakan dimensi berpikir tertinggi dalam filsafat
karena setinggi-tingginya penjelasan filsafat adalah menggapai spiritualitas.
Dengan kata lain untuk segala hal yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran
manusia dan tidak mampu dijelaskan dengan kata-kata maka dasar filsafatnya
adalah spiritual. Karena itu memiliki spiritualitas yang baik dan teguh
merupakan hal hal utama dalam mempelajari filsafat.
Dalam berfilsafat ada dua masalah
yang dihadapi, yaitu:
1.
Jika
yang dipikirkan itu ada di luar pikiranmu, maka bagaimana engkau memahaminya?
2.
Jika
yang dipikirkan itu ada di dalam pikiranmu, maka bagaimana engkau menjelaskannya?
Sehebat
apapun dan sekuat apapun manusia berusaha menjawab kedua permasalahan tersebut
tiadalah ia mampu menjawabnya dengan sempurna. Hal ini karena pikiran manusia
itu terbatas, sehingga memikirkan apa yang ada di dalam pikiran saja tiadalah
ia tuntas apalagi memikirkan apa yang berada di luar pikirannnya. Sepanjang
hidupnya manusia hanya bisa berusaha menggapai kesempurnaan itu tetapi ia tidak
akan pernah bisa mencapai kesempurnaan itu. Namun, dalam pandangan filsafat
sebenar-benar manusia itu bisa hidup justru bukan karena kesempurnaannya
melainkan ketidaksempurnaannya. Misalnya, manusia tidak bisa memikirkan banyak
hal dan mengucapkan lebih dari satu kata secara bersama-sama pada saat yang
sama. Jika tidak demikian maka kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi
pada manusia.
B.
Objek Pikir Filsafat
Sebagai olah pikir, tentunya
filsafat memiliki objek pikir Telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagai olah
pikir, filsafat mencakup semua yang ada dan yang mungkin ada di alam semesta
ini. Maka dapat dikatakan bahwa objek pikir filsafat itu adalah semua yang ada
dan yang mungkin ada. Berbicara tentang yang ada dan yang mungkin ada itu
sesungguhnya berbicara tentang apa? dan apakah yang dimaksud dengan yang ada
dan yang mungkin ada itu? Yang ada dan yang mungkin ada itu merupakan segala
sesuatu baik yang dapat dipersepsikan dan dipikirkan maupun yang tidak dapat
dipersepsikan dan tidak dapat dipikirkan oleh manusia. Sementara itu, berbicara
tentang yang ada dan yang mungkin ada itu sangat tergantung bagi siapanya. Berikut
beberapa kondisi dari yang ADA dan yang Mungkin ADA berdasarkan potensinya.
1.
ADA
bagiku belum tentu ADA bagimu dan ADA bagimu belum tentu ADA bagiku. Hal ini
menunjukkan bahwa setiap orang memiliki ADA-nya masing-masing yang dalam hal
ini hanya diketahui olehnya.
2.
ADA-ku
bisa saja ADA padamu dan ADA-mu bisa saja ADA padaku. Hal ini menunjukkan bahwa
apa yang diketahui seseorang bisa saja telah diketahui juga oleh orang lain
tanpa harus saling memberitahukan.
3.
ADA
padaku dan ADA padamu. Hal ini menunjukkan keadaan dimana kedua subjek pikir
telah saling mengetahui bahwa mereka mengetahui hal yang sama.
Secara kuantitas, segala yang ADA dan yang
Mungkin ADA itu tak berhingga banyaknya, maka tiadalah manusia itu sanggup
memikirkan dan menyebutkan semuanya. Sementara mempelajari filsafat pada
hakekatnya mengadakan yang Mungkin ada menjadi ADA. Lalu, bagaimanakah cara
mengadakan yang Mungkin ADA menjadi ADA? Baik yang ADA maupun yang Mungkin ADA
itu memiliki sifat-sifatnya masing-masing dan sifat-sifat dari yang ADA dan
yang Mungkin ADA itu juga mencakup yang ADA dan yang Mungkin ADA, sehingga
untuk satu objek pikir dari yang ADA maupun yang Mungkin ADA memiliki tak
berhingga banyaknya sifat. Lalu, apakah hal ini berarti kita perlu menyebutkan
semua sifat dari yang Mungkin ADA untuk mengadakannya? Jawaban adalah tidak,
kita hanya perlu menyebutkan satu dari semua sifat-sifat dari yang Mungkin ADA
itu untuk mengadakannya. Mengapa demikian? Pertama, kita pikiran terbatas untuk
memikirkan semua sifat dari yang Mungkin ADA itu, apalagi harus menyebutkan
semuanya jelas suatu hal yang mustahil. Kedua, sesuatu itu menjadi ADA karena
manusia memikirkannya dan yang dipikirkan itu adalah sifatnya. Ketiga, yang ADA
itu merupakan apa yang diketahui oleh manusia dan tiadalah manusia itu mampu
memikirkan satupun sifat dari apa yang tidak diketahuinya. Misalnya dalam
kehidupan sehari-hari, ada orang yang keberadaannya dapat kita ketahui cukup
dengan mendengar suaranya tanpa harus melihatnya, dimana karakter suara
merupakan salah satu sifat dari orang tersebut. Sarana untuk mengadakan yang Mungkin
ADA menjadi ADA itu bisa melalui penglihatan, pendengaran, sentuhan, membaca,
dan lain sebagainya.
Yang ADA dan yang Mungkin ADA itu
merupakan Wadah berIsi dan Isinya juga merupakan Wadah berIsi dan seterusnya.
Misalnya rambut hitam: rambut adalah Wadah dan hitam adalah Isi, selanjutnya
hitam itu ada hitam pekat dimana: hitam adalah Wadah dan pekat adalah Isi, dan
seterusnya. Hubungan Wadah dan Isi inilah yang selanjutnya disebut sebagai
hubungan Subjek dan Predikat., dimana Subjek adalah Wadah dan Predikat adalah
Isi. Selanjutnya baik Isi maupun Predikat tersebut menunjukkan sifat-sifat dari
yang ada dan yang mungkin ada yang tak berhingga banyaknya.
C.
Prinsip Berpikir Filsafat
Menurut Immanuel Kant, prinsip
berpikir di dunia ini ada 2 yaitu Identitas dan Kontradiksi. Prinsip Identitas
dalam filsafat berbeda dengan prinsip identitas dalam matematika. Prinsip
identitas dalam matematika menyatakan bahwa A=A, namun dalam pandangan filsafat
A≠A. Mengapa demikian? Filsafat adalah ilmu yang mementingkan ruang dan waktu
dimana “A yang pertama” berbeda letak dengan “A yang kedua” (berbeda ruang) dan
“A yang pertama” lebih dulu disebutkan
dibanding dengan “A yang kedua” (berbeda waktu). Keadaan A=A itu hanya terjadi
dalam pikiran karena segala sesuatu yang berada di dalam pikiran itu terbebas
dari ruang dan waktu. Dengan demikian, dalam filsafat yang mementingkan ruang
dan waktu, tiadalah keadaan itu yang mencapai Identitas karena ruang dan waktu
itu senantiasa berubah. Keadaan tidak dapat mencapai identitas inilah yang
kemudian disebut sebagai prinsip kontradiksi.
Prinsip kontradiksi menyatakan
bahwa Subjek tidak sama dengan Predikat. Misalnya, rambut hitam: rambut adalah
subjek dan hitam adalah predikat, sampai kapanpun rambut tidak akan pernah sama
dengan hitam dan hitam tidak akan pernah sama dengan rambut. Berbicara tentang
kontradiksi, hidup manusia di dunia ini penuh dengan kontradiksi yaitu
pertentangan dan perbedaan. Namun, sesungguhnya manusia itu bisa hidup karena
kontradiksi-kontradiksi yang terjadi dalam hidupnya. Misalnya tubuh manusia
terdiri dari berbagai elemen yang saling berkontradiksi satu dengan yang
lainnya (baik dari segi bentuk dan fungsinya) sehingga manusia itu bernafas dan
bisa melakukan aktivitas kehidupannya.
Berbicara tentang ruang dan waktu,
dalam pandangan Filsafat yang mementingkan ruang dan waktu, matematika itu
hanya terdiri atas dua yaitu Aritmatika yang merupakan Waktu dan Geometri yang
merupakan Ruang, sementara sisanya merupakan kombinasi dari keduanya.
D.
Filsafat dari Yang Ada dan Yang
Mungkin Ada
Seperti telah dijelaskan sebelumnya
bahwa objek pikir filsafat itu adalah yang ada dan yang mungkin ada. Memikirkan
yang ada dan yang mungkin ada itu tidak lain adalah memikirkan sifat-sifatnya
dan hubungan antara sifat-sifatnya serta sturkturnya. Sementara yang ada dan
yang mungkin ada itu memiliki lebih dari semilyar pangkat semilyar sifat yang
mana kita tidak pernah mampu untuk selesai menyebutkannya. Karena itu, untuk
memikirkan sifat-sifat dari yang ada dan yang mungkin ada itu, kita menggunakan
cara berpikir reduksi sehingga dalam filsafat muncul aliran reduksionisme.
Sebagai manusia kita memiliki sifat reduksifis, artinya kita memilih
sifat-sifat dari apa yang kita pikirkan tergantung dari tujuan kita berpikir,
misalnya untuk membangun ilmu dan lain sebagainya. Misalnya kita memilih dua
sifat yang saling berantitesis dari yang ada dan yang mungkin ada yaitu TETAP
dan BERUBAH. TETAP itu, misalnya kita sebagai manusia entah kita itu kecil,
besar, dewasa, tua, muda, anak-anak, dsb.. tetap saja manusia. Sedangkan yang
BERUBAH itu, sebagai manusia kita selalu mengalami perubahan dari watu ke
waktu. Dalam filsafat, Yang TETAP itu memiliki aliran filsafatnya yaitu
Permenidesianisme dengan tokohnya Permenides. Sedangkan aliran filasafat Yang
BERUBAH itu yaitu Heracelitosianisme dengan tokohnya Heracelitos. Berdasarkan
letaknya, Yang TETAP itu berada di dalam pikiran sedangkan yang BERUBAH itu
berada di luar pikiran.
Yang di dalam pikiran itu
bersifat absolut atau ideal sehingga ada aliran filsafat absolutisme atau
idealisme dengan tokohnya Plato, aliran filsafat ini juga disebut sebagai
filsafat platoisme. Yang di luar pikiran bersifat relative dan bersifat
kontradiksi yaitu “I ≠ I” karena peduli dengan ruang dan waktu. Yang berada di
luar pikiran berkaitan dengan dunia persepsi yaitu dapat ditangkap oleh indera
manusia dan bersifat kongkrit sehingga kebenarannya bersifat korespondensi atau
cocok, sehingga munculah aliran filsafat korespondensianisme. Yang berada di
luar pikiran itu bersifat sintektik, yaitu saling terhubung, berlaku hukum sebab-akibat
dan dapat dipersepsi. Karena bersifat sintetik maka secara otomatis juga
bersifat aposteriori sehingga keduanya membentuk sintetik aposteriori .
Sintetik aposteriori berarti bahwa kita akan dapat memahami suatu hal jika
terlebih dahulu kita mempersepsikannya atau mengalaminya. Sintetik apriori merupakan
hasil dari empiris, sehingga lahirlah aliran empirisisme dengan tokohnya David
Hume.
Yang di luar pikiran itu bersifat
real atau nyata sehingga muncul aliran filsafat realisme dengan tokohnya
Aristoteles. Yang berada di dalam pikiran itu bersifat tetap atau identitas
yaitu “I = I”. Yang berada di dalam pikiran itu bersifat abstrak dan nilai
kebebenarannya mengutamakan atau mementingkan kekonsistensian. Artinya suatu
hal bisa menjadi ilmu jika hal tersebut selalu konsisten sekalipun tidak
memiliki makna. Selain itu, Yang di dalam pikiran itu bersifat analtik, artinya
“yang penting logis”. Karena bersifat analitik maka secara otomatis bersifat
juga apriori, artinya karena cukup logis dalam pikiran pikiran kita, maka
pikiran kita dapat melanjutkan ide yang logis tersebut pada ide berikutnya yang
wujudnya entah seperti apa. Oleh karena itu keduanya dapat membentuk analitik
apriori, yang berarti bahwa kita dapat memahami suatu hal hanya dengan
memikirkannya saja atau tanpa mempersepsikannya terlebih dahulu. Analitik
apriori inilah yang merupakan cara berpikir yang didasarkan pada rasio sehingga
muncul aliran filsafat rasionalisme dengan tokohnya Rene Descartes.
Rasionalisme dan empirisisme
merupakan dua aliran yang saling berkontradiksi, berlawanan dan berantitesis
antara satu dengan yang lain. Akibatnya pada akhir abad XV, terjadi perdebatan
dan pertentangan hebat di antara penganut aliran rasionalisme dan penganut
aliran empirisisme. Rene Descartes dengan aliran rasionalisme menyatakan bahwa
tidalah ilmu jika tidak berdasarkan rasio. Sedangkan David Hume dengan aliran
empirisismenya menyatakan bahwa tiadalah ilmu jika tidak dibangun di atas dasar
pengalaman. Pertentangan ini terus berlanjut sampai suatu ketika munculah
Immanuel Kant yang kemudian mampu menyatukan kedua pandangan tersebut. Immanuel
Kant menyatakan bahwa baik rasionalisme maupun empirisisme hanya mengandung
separuh kebenaran, artinya tidaklah cukup jika hanya mengandalkan rasio dan
tidaklah cukup jika hanya menggunakan pengalaman saja. Dengan mengambil
apriorinya Rene Descartes dan sintetiknya David Hume, Immanuel Kant menyatakan
bahwa sebenar-benar ilmu adalah sintetik apriori, yang berarti bahwa
sebenar-benar ilmu adalah “pengalaman yang dipikirkan” dan “pikiran yang
diterapkan”.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Filsafat
adalah olah pikir yang mencakup segala yang ada dan yang mungkin ada. Segala
yang ada dan yang mungkin ada itu mencakup segala sesuatu baik yang ada di
dalam maupun di luar pikiran dan segala sesuatu yang dapat atau tidak dapat
dipersepsikan oleh manusia.
2.
Filsafat
memiliki objek pikir yaitu yang ada dan yang mungkin ada. Yang ada dan yang
mungkin ada itu memiliki tak berhingga banyaknya sifat yang juga mencakup semua
yang ada dan yang mungkin ada. Maka ketika memikirkan yang ada dan yang mungkin
ada itu sesungguhnya yang dipikirkan adalah sifat-sifatnya, hubungan
sifat-sifatnya, dan strukturnya.
3.
Filsafat
adalah ilmu yang mementingkan ruang dan waktu, maka tiadalah segala sesuatu
dalam pandangannya mencapai keadaan identitas (A=A) melainkan segala sesuatu
itu bersifat atau selalu berada dalam keadaan kontradiksi (A≠A). Itulah prinsip
kontradiksi dalam filsafat. Sementara keadaan Identitas dipandang sebagai
keadaaan yang hanya berada di dalam pikiran saja karena segala sesuatu yang
berada di dalam pikiran itu terbebas dari ruang dan waktu.
4.
Dari
sifat-sifat yang ada dan yang mungkin ada itu muncul berbagai aliran filsafat dan
beberapa diantaranya sebagai berikut:
a.
Yang
Tetap, alirannya permenidesianisme, tokohnya Permenides
b.
Yang
Berubah, aliran heracelitosianisme, tokohnya Heracelitos
c.
Yang
Absolut atau ideal, alirannya absolutisme atau idealisme, tokohnya Plato
d.
Yang
Nyata atau Real, alirannya realisme, tokohnya Aristoteles
e.
Yang
bersifat Korespondensi, alirannya korespondensianisme
f.
Yang
bersifat Empiris, alirannya empirisianisme, tokohnya David Hume
g.
Yang
bersifat Rasio, alirannya rasionalisme, tokohnya Rene Descartes
5.
Secara
umum dari pengalaman saya belajar filsafat ilmu, yang dapat saya simpulkan
bahwa belajar filsafat merupakan sarana untuk mengembangkan pikiran dan cara
berpikir untuk memandang segala sesuatu dengan berbagai sudut pandang. Dalam
mempelajari filsafat kita dituntut untuk berpikir terbuka namun tetap kritis
dalam menanggapi segala sesuatu. Hal ini penting karena akan melatih pikiran
kita untuk berpikir secara fleksibel sehingga terhindar dari mitos.
B.
Saran
1.
Dalam
mempelajari filsafat diperlukan pikiran kritis dan hati yang ikhlas, karena
sebenar-benar ancaman belajar filsafat adalah mitos yaitu merasa cukup dan
jelas.
2.
Objek
pikir filsafat itu berdimensi dan berstruktur, karena itu tidaklah cukup jika
hanya menggunakan permikiran sendiri untuk memahaminya. Perlu untuk
memperbanyak bacaan dan referensi karena akan membantu kita untuk dapat
berpikir secara intensif yaitu dalam sedalam-dalamnya dan berpikir secara ekstensif
yaitu luas seluas-luasnnya.