Pages

Selasa, 29 September 2015

Refleksi Kuliah Filsafat Ilmu (Pertemuan Ketiga)

Perkuliahan dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 22 September 2015, di Kelas PM A ruang 305B Gedung Pascasarjana Lama Universitas Negeri Yogyakarta. Dosen pengampu Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Dalam perkuliahan ini, kegiatan yang dilakukan adalah tanya-jawab. Adapun pertanyaan-pertanyaan dari teman-teman mahasiswa sebagai berikut.
  1. Bagaimana pandangan filsafat terhadap budaya instan pada siswa dalam belajar ?
  2. Bagaimana pandangan agama terhadap teori Darwin tentang penciptaan manusia ?
  3. Bagaimana teori-teori penciptaan seperti teori Big Bang bisa diterima dan dikenal luas walaupun belum tentu kebenarannya ?
  4. Kematian setiap orang telah ditetapkan oleh Tuhan, bagaimana dengan kematian karena bunuh diri yang dari sisi agama merupakan dosa ?
  5. Dalam filsafat suatu hal itu memiliki banyak contoh, bagaimana dengan poligami ? Apakah dalam poligami salah satunya diakui dan lainnya hanyalah contoh ?
  6. Apakah filsafat bertentangan dengan motivator ?
  7. Bagaimana mensinergikan apa yang ada di pikiran dan di hati agar tidak menyesal ?
Berikut yang dapat saya simpulkan dari penjelasan bapak Marsigit atas pertanyaan-pertanyaan di atas.
  1. Budaya instan berkaitan dengan sikap, kebiasaan dan pendirian seseorang dalam melakukan suatu hal. Berdarkan hal tersebut maka dapat ditarik 2 prinsip yaitu : “JIka ada yang mudah, mengapa harus cari yang sulit ?” dan “Jika bisa melakukan yang sulit, mengapa harus mencari yang mudah ?”. Prinsip yang pertama merupakan anti tesis dari prinsip kedua dan sebaliknya. Secara psikologis dapat kita identifikasi bahwa orang yang menggunakan prinsip pertama adalah orang yang tidak mau berusaha, tidak mau meningkatkan potensi diri, motivasinya untuk maju kurang, tertutup, tidak suka tantangan, tidak kreatif, tidak cerdas, tidak peduli, suka yang instan, dan lain sebagainya. Sedangkan orang yang menggunakan prinsip yang kedua adalah orang yang kreatif, pekerja keras, cerdas, suka tantangan, rasa ingin tahunya tinggi, terbuka, pantang menyerah, dan lain sebagainya. Secara filsafat dapat dikatakan bahwa hidup adalah interaksi antara prinsip pertama dan kedua serta hidup akan lebih baik jika terjadi perubahan/pergeseran dari prinsip pertama menuju prinsip kedua.
  2. Prinsip teori Darwin adalah evolusi (perubahan) yang berkaitan dengan hukum sebab-akibat. Menurut Darwin, jika manusia terus-menerus melatih dirinya terbang maka harapannya suatu saat manusia bisa terbang. Hal ini berkaitan dengan teori potensi diri, dimana potensi bisa menjadi keahlian jika terus-menerus dilatih. Hal ini juga dipandang oleh Immanuel Kant sebagai teori untuk memperkirakan masa depan yang dikenal sebagai Teleologi. Berbicara tentang perubahan maka sebagai anti tesisnya ada yang tidak berubah atau tetap. Secara filsafat, hidup adalah interaksi antara yang tetap dan berubah, hidup ini tetap dalam perubahannya dan berubah dalam ketetapannya. Dalam agama, kebenaran itu bersifat mutlak dan tetap yang sampai kapapun tidak akan pernah berubah. Jika perubahan itu menyetuh kebenaran dalam spiritual, maka kita harus mengokohkan spiritualitas kita agar keyakinan kita tetap.
  3. Suatu teori bisa diterima dan dikenal luas karena teori tersebut dipublikasikan, didukung, dihidup-hidupkan dan ada manfaatnya. Berkaitan dengan teori-teori penciptaan seperti teori Big Bang yang belum tentu kebenarannya, cukup dijadikan sebagai pengetahuan saja karena pasti memiliki manfaat tetapi tidak untuk diyakini.
  4. Takdir dapat dipandang dari sisi filsafat dan spiritual. Secara filsafat, takdir adalah sesuatu yang sudah terjadi karena berada dalam pikiran manusia. Secara spiritual, takdir adalah sesuatu yang sudah terjadi dan akan terjadi. Sesuatu yang belum/akan terjadi dapat dipandang dari sisi duniawi dan spiritual. Dari sisi duniawi, hal yang belum/akan terjadi merupakan takdir sedangkan dari sisi spiritual dipandang sebagai ikhtiar yang mana manusia berpotensi melakukannya. Hidup ini tidak bisa lepas dari takdir tetapi hidup ini adalah pilihan.
  5. Secara filsafat, hal ini tergantung darimana mengklaim salah satunya dan lainnya sebagai contoh sesuai dengan dimensi berpikir dan hidupnya. Poligami berkaitan dengan aspek psikologi implementatif dalam kehidupan sehari-hari yang mana tergantung dari orang yang melakukannya.
  6. Dalam filsafat, ketetapan dalam agama dipandang sebagai tesis yang memiliki anti tesis yaitu ikhtiar. Ikhtiar adalah daya upaya yang merupakan potensi manusia. Motivator adalah orang yang berusaha mengembangkan potensi-potensi manusia. Hidup ini memiliki potensi untuk berubah dan berkembang dari ada menjadi pengada melalui mengada. Perubahan terjadi karena adanya keikhlasan dimana keikhlasan merupakan terwujudnya “pengada (wadah)” dari “yang ada” melalui “mengada (Ikhtiar)”.
  7. Hal ini merupakan kontradiksi. Hidup manusia penuh dengan kontradiksi yaitu pertentangan/perbedaan. Manusia bisa hidup karena kontradiksi-kontradiksi yang terjadi dalam hidupnya. Kontradiksi ada yang produktif dan kontra-produktif. Semakin wadah (subjek/manusia) serupa dengan isi (predikat) maka semakin besar kontradiksinya dan sebaliknya semakin tinggi spiritualitas manusia maka semakin kecil kontradiksinya. Semakin tinggi dan semakin tinggi lagi terangkum menjadi satu yaitu Kuasa Tuhan dimana Tuhan tidak mengenal kontradiksi melainkan hanya manusia. Perasaan menyesal merupakan aspek psikologi yang berkaitan dengan hati. Oleh karena itu, biarkanlah kontradiksi itu terjadi tetapi hanya di pikiranmu dan bukan di hatimu. JIka penyesalan sampai terjadi dihati maka yang harus kita lakukan adalah berdoa mohon ampun dan petunjuk dari Yang Maha Kuasa.


Senin, 28 September 2015

Bagan Kesenjangan antara Kenyataan dan Harapan Dalam Pembelajaran Matematika

 1.       Pandangan Siswa terhadap Matematika

Kenyataan
Harapan
Solusi
Ø  Siswa tidak  tertarik belajar matematika

Ø  Siswa kurang  memiliki minat untuk belajar matematika

Ø  Siswa kurang memiliki motivasi untuk belajar matematika

Ø  Siswa menganggap matematika sulit


Ø  Siswa merasa belajar matematika tidak menyenangkan

Ø  Siswa tertarik belajar matematika

Ø  Siswa memiliki minat yang tinggi untuk belajar matematika

Ø  Siswa memiliki motivasi yang tinggi untuk belajar matematika

Ø  Siswa menganggap matetatika mudah untuk dipelajari

Ø  Siswa merasa menyenangkan untuk belajar matematika
Ø  Guru menggunakan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran matematika.

Ø  Guru membawakan materi dengan cara yang interaktif, menarik, dan menyenangkan.

2.       Motivasi Guru dalam Mengajar

Kenyataan
Harapan
Solusi
Ø  Guru mengajar hanya demi memenuhi kebutuhan ekonomi

Ø  Guru mengajar hanya untuk memenuhi tuntutan jumlah jam mengajar

Ø  Guru mengajar hanya sekedar untuk melaksanakan tugas

Ø  Guru mengajar karena terpaksa

Ø  Guru mengajar bukan demi memenuhi kebutuhan ekonomi

Ø  Guru mengajar bukan untuk memenuhi tuntutan jumlah jam mengajar

Ø  Guru mengajar bukan sekedar untuk melaksanakan tugas

Ø  Guru mengajar bukan karena terpaksa

Ø  Guru mengikuti pelatihan guru yang menfokuskan pada peningkatan motivasi guru dalam mengajar



3.       Peranan Orang Tua  dalam Mendukung Belajar Siswa

Kenyataan
Harapan
Solusi
Ø  Orang tua kurang berkomunikasi dengan siswa terkait belajar siswa

Ø  Orang tua kurang peka terhadap kebutuhan belajar siswa

Ø  Orang tua terlalu banyak menuntut kepada siswa tanpa memahami kondisi dan perkembangan siswa dalam belajar

Ø  Orang tua kurang menyediakan waktunya bagi siswa

Ø  Komunikasi antara orang tua dan siwa baik, khususnya terkait belajar siswa

Ø  Orang tua peka terhadap kebutuhan belajar siswa


Ø  Memahami kondisi dan perkembangan siswa dalam belajar


Ø  Orang tua menyediakan waktu yang cukup bagi siswa
Ø  Orang tua harus membangun dan menumbuhkan sikap keterbukaan pada siswa melalui cara berkomunikasi yang baik dan intens dengan siswa

Ø  Orang tua harus lebih memahami dan peka terhadap kondisi dan perkembangan belajar siswa

Ø  Orang tua harus lebih banyak menyediakan waktu untuk siswa


Rabu, 23 September 2015

Refleksi Kuliah Filsafat Ilmu (Pertemuan Kedua)

Perkuliahan dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 15 September 2015, di kelas PM A ruang 305B Gedung Pascasarjana Lama Universitas Negeri Yogyakarta, pukul 11.10-12.50 WIB. Dosen pengampu Prof. Dr. Marsigit, M.A.

Pada pertemuan sebelumnya telah dijelaskan bahwa objek filsafat yaitu yang ada dan yang mungkin ada. Pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan yang ada dan yang mungkin ada? Berbicara tentang yang ada dan yang mungkin ada itu tergantung bagi siapanya. “Ada bagiku” belum tentu “ada bagimu” sebaliknya “ada bagimu” belum tentu “ada bagiku”, “ada-ku” bisa saja “ada padamu” sebaliknya “ada-mu” bisa saja “ada padaku”, dan bisa saja “ada padaku” dan “ada padamu”. “Ada bagiku yang belum tentu ada padamu dan sebaliknya” berkaitan dengan hal yang sesungguhnya hanya kita yang mengetahuinya namun belum diketahui oleh orang lain dan sebaliknya. Namun dilihat dari potensinya yang “ada padaku bisa saja ada padamu dan sebaliknya”. Sedangkan ada padaku dan ada padamu berkaitan dengan hal yang sama-sama diketahui. Secara quantitas yang ada dan yang mungkin ada itu tak berhingga banyaknya.

Pada hakekatnya belajar filsafat adalah mengadakan yang mungkin ada menjadi ada. Pertanyaannya adalah bagaimana yang mungkin ada menjadi ada? Sebagai contoh, misalnya kita ingin mengetahui hasil pengumuman penerimaan mahasiswa baru pascasarjana UNY tahun 2015 yang sebelumnya belum pernah kita ketahui. Pada titik ini hasil pengumuman tersebut adalah sesuatu yang “tidak ada pada kita (pikiran kita)” namun dilihat dari potensinya “bisa saja ada” atau “mungkin ada pada kita (pikiran kita)”. Selanjutnya melalui membaca pengumuman di website pasca UNY atau diberitahu oleh orang lain kita akhirnya mengetahui apa hasil pengumuman tersebut. Hal ini berarti bahwa hasil pengumuman yang awalnya “mungkin ada” pada kita (pikiran kita) menjadi “ada” pada kita (pikiran kita). Menurut bapak Marsigit, mengadakan yang mungkin ada menjadi ada bisa dalam banyak cara yang diantaranya melalui penglihatan, pendengaran, sentuhan, membaca, dan seterusnya. Beliau mengatakan bahwa jika kita dapat menyebutkan salah satu ciri dari suatu hal maka hal tersebut sudah ada bagi kita (dalam pikiran kita). Beliau juga mengatakan bahwa yang ada dan yang mungkin ada dalam pikiran kita adalah wadah berisi yang mana isinya juga merupakan wadah yang berisi dan seterusnya. Contohnya rambut hitam, rambut adalah wadah dan hitam adalah isinya, selanjutnya hitam itu ada yang kelam dimana hitam adalah wadah dan kelam adalah isinya, dan seterusnya. Hal ini menunjukan ciri atau karakteristik dari yang ada dan mungkin ada itu tak berhingga banyaknya.

Ada 2 masalah dalam filsafat yaitu : “jika yang dipikirkan ada di luar pikiran kita, bagaimana kita memahaminya?” dan “jika yang dipikirkan ada di dalam pikiran kita, bagaimana kita menjelaskannya?”. Menurut bapak Marsigit, jika kita mampu mengerti dan menjelaskan kedua masalah tersebut dengan sempurna maka kita sudah tidak hidup lagi. Beliau mengatakan bahwa manusia bisa hidup karena kertidaksempurnaannya. Contohnya : manusia tidak bisa merasakan segala macam perasaan sekaligus dalam waktu yang bersamaan, manusia mendengar bunyi hanya terbatas pada frekuensi tertentu, dan lain sebagainya. Beliau juga mengatakan bahwa hidup ini hanyalah berusaha menuju kesempurnaan atau berusaha melengkapi ketidaksempurnaan tetapi tidak akan pernah mencapai kesempurnaan itu sendiri. Beliau juga menambahkan bahwa hidup kita ini tidak konsisten dalam kekonsitensiannya dan konsisten dalam ketidakkonsistensiannya. Menurut Immanuel Kant, prinsip berpikir di dunia ini ada 2 yaitu Kontradiksi dan Identitas. Prinsip kontradiksi menyatakan bahwa Subjek tidak sama dengan Predikat. Contohnya rambut hitam, sampai kapanpun rambut tidak akan pernah sama dengan hitam dan hitam tidak akan pernah sama dengan rambut. Rambut adalah subjek yang juga merupakan wadah, dan hitam adalah predikat yang juga merupakan isi. Selanjutnya prinsip identitas, prinsip identitas berbeda jika dilihat dari sudut pandang matematika murni dan filsafat. Prinsip indentitas dalam ilmu matematika menyatakan bahwa A = A. Sedangkan prinsip identitas dalam filsafat menyatakan bahwa A ≠ A. Hal ini terjadi karena filsafat mementingkan ruang dan waktu sedangkan ilmu matematika tidak. Dalam filasafat A ≠ A karena berdasarkan ruang dan waktu keduanya berbeda, salah satu perbedaannya yaitu “A yang pertama” lebih dulu disebutkan dan “A yang kedua” disebutkan setelah “A yang pertama”. Berkaitan dengan ruang dan waktu, menurut bapak Marsigit secara filsafat matematika hanya terdiri atas aritmatika yang merupakan waktu dan geometri yang merupakan ruang, sedangkan sisanya merupakan kombinasi dari keduanya.

Berdasarkan objek filsafat “yang ada”, bapak Marsigit mengatakan bahwa terdapat dua aliran filsafat yaitu aliran filsafat idealis atau rasional yang salah satu tokohnya adalah Plato dan aliran filsafat realis murni yang salah satu tokohnya adalah Aristoteles. Bagi aliran filsafat realis murni sesuatu dianggap ada jika bisa dilihat, disentuh, dan didengar. Sedangkan bagi aliran filsafat idealis atau rasional sesuatu dianggap ada meskipun hanya ada dalam pikiran kita. Contohnya, jika kita bertemu secara langsung dengan seseorang dan selanjutnya kita berpisah dengan orang tersebut. Dalam keadaan setelah berpisah, bagi aliran filsafat realis murni orang yang kita temui tadi dianggap tidak ada karena sekarang tidak bisa kita lihat, sentuh, dan dengar. Sedangkan bagi aliran filsafat idealis atau rasional orang tersebut masih ada meskipun sekarang tidak bisa kita lihat, sentuh dan dengar karena sudah ada dalam pikiran kita. Menjembatani perbedaan aliran filsafat tersebut, Immanuel Kant menggabungkan pandangan keduanya. Ia mengatakan bahwa sebenar-benar ilmu adalah sintetik apriori. Sintektik adalah hukum sebab akibatnya aristoteles (aliran realis murni) dan apriori adalah logikanya plato (aliran idealis/rasional). Dengan kata lain sebenar-benar ilmu adalah pengalaman yang dipikirkan dan pikiran yang diterapkan.

Selasa, 22 September 2015

Masalah-Masalah Pembelajaran Matematika


Masalah-masalah pembelajaran matematika dapat dilihat dari sisi : guru, siswa, kepala sekolah, dinas pendidikan, orang tua, lingkungan, matematika, dan pembelajaran matematika.

a. Guru
  1. Kurikulum yang diberlakukan pemerintah (bahan ajar, pembelajaran, penilaian yang masih kurang).
  2. Kepribadian (kompetensi) guru dalam pembelajaran, termasuk penguasaan materi.
  3. Adanya sertifikasi guru, apakah meningkatkan kinerja guru ?
  4. Ekonomi guru, niatnya bukan karena panggilan nurani, namun untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
  5. Pemilihan dan penggunaan media yang dapat menunjang pembelajaran efektif dan efisien.
  6. Manajemen waktu agar pembelajaran efektif dan efisien.
  7. Menumbuhkan minat dan motivasi siswa untuk belajar matematika
b. Siswa
  1. Ketertarikan siswa terhadap guru
  2. Pembelajaran guru yang dianggap monoton
  3. Matematika dianggap sulit
  4. Belum memahami materi prasyarat sehingga kesulitan memahami materi berikutnya.
  5. Fasilitas yang dimilliki siswa
  6. Jadwal belajar di sekolah
  7. Daya juang rendah, malas, kurang tertarik terhadap matematika karena tidak sesuai dengan  cita-cita
  8. Kecemasan saat ujian
  9. Kondisi tubuh
c. Kepala Sekolah
  1. Kurang memonitor karena jadwal yang padat
  2. Kurangnya kemampuan bersosialisasi, tergantung dari cara perekrutan
  3. Pengetahuan IT
  4. Rekruit kepala sekolah (kedekatan emosi)
  5. Kurangnya pelatihan
  6. Niat kepala sekolah karena ekonomi dan status sosial
  7. Pengelolaan dana kurang optimal
  8.  Manajemen yang masih kurang
d. Dinas Pendidikan
  1. Penelitian yang diselenggarakan dinas pendidikan tidak merata
  2. Kurang memonitoring, hanya sekedar melaksanakan tugas
  3. Pemerataan dana pendidikan
  4. Dana pemerintah tidak 100% diterima, daya serap 100% tetapi tidak sesuai dengan  pelaksanaan
e. Orang Tua
  1. Biaya pendidikan
  2. Fasilitas untuk belajar siswa
  3. Wawasan orang tua
  4. Tuntutan, hanya menuntut tanpa memahami kondisi anak
  5. Komunikasi
  6. Ketersediaan waktu yang kurang karena kesibukan
  7. Kepekaan terhadap kebutuhan siswa
  8. Keteladanan
  9. Pola asuh
f. Lingkungan
  1. Kurangnya sarana dan prasarana
  2. Suasana akademis yang tidak kondusif
q. Matematika
  1. Konteks soal tidak sesuai dengan yang dihadapi siswa
  2. Sifatnya simbolik/abstrak/tidak kontekstual
  3. Materi padat, cenderung menghafal
  4. Konsepnya, belum diketahui manfaatnya
  5. Tingkat kesulitan
h. Pembelajaran Matematika
  1. Langsung
  2. Apersepsi
  3. Belum didukung media
  4. Belum didukung perangkat (RPP, buku ajar, LKS/Modul, penilaian)
  5. Evaluasi terhadap pembelajaran, sudah dilakukan?




Senin, 14 September 2015

Refleksi Kuliah Filsafat Ilmu (Pertemuan Perdana)

Kuliah dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 8 September 2015, di kelas PM A ruang 305B gedung Pascasarjana Lama Universitas Negeri Yogyakarta, pukul 11.10-12.50 WIB. Dosen pengampu Prof. Dr. Marsigit, M.A.

Filsafat adalah olah pikir yang mencakup sumber-sumber pikir, cara pembenaran, logika, cakupan, objek, metodologi, tata cara, etik, estetika, menurut siapa, kapan dan dimana. Filsafat terdiri atas tiga aspek yaitu Ontologi, Epistemologi, dan Estetika. Ontologi adalah hakekatnya, epistemologi adalah metodologinya, dan estetika adalah kepantasan atau benar dan salahnya atau baik dan buruknya. Filsafat ilmu lebih cenderung pada aspek epistemologinya atau metodologinya, namun mempelajari salah satunya secara tidak langsung mempelajari juga aspek yang lainnya karena ketiga aspek tersebut saling bergantung dan tidak terpisahkan.

Belajar filsafat ilmu mencakup mulai dari hal yang kelihatan sampai tidak kelihatan, yang ada dan yang mungkin ada, bahkan sampai pada spiritualitas yang merupakan setinggi-tingginya ilmu. Filsafat adalah dasar dari filsafat ilmu maka mempelajari filsafat adalah mempelajari filsafat ilmu. Filsafat yang adalah olah pikir memilki cakupan yang sangat luas, karena itu dalam mempelajarinya diperlukan koridor berpikir yang paling tinggi, membawahi, dan mendasari yaitu spiritualitas. Koridor spiritualitas yang dimaksud adalah koridor spiritualitas masing-masing orang tergantung pada keyakinannya.

Agar dapat mempelajari filsafat maka sesuai dengan koridor berpikir yang telah ditentukan kita harus mengokohkan dan menegakan spritualitas kita terlebih dahulu. Selanjutnya seiring dengan mempelajari filsafat kita juga harus mematangkan dan memantapkan diri dari aspek psikologis yaitu kesabaran, ketelatenan, keuletan, daya juang, dan sebagainya serta dari aspek psikologi belajar orang dewasa yaitu sikap bertanggung jawab atas apa yang dilakukan.

Sebagai catatan agar suskses dalam perkuliahan filsafat ilmu ini maka perlu  untuk memperbarui niat dan niatkan diri, mensinergikan niat dengan tindakan, menambahkan dan membangun ilmu dengan membaca dan merefleksikannya, serta mencari keterampilan untuk memperoleh pengalaman.