Perkuliahan dilaksanakan pada
hari Selasa tanggal 15 September 2015, di kelas PM A ruang 305B Gedung Pascasarjana Lama
Universitas Negeri Yogyakarta, pukul 11.10-12.50 WIB. Dosen pengampu Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Pada pertemuan sebelumnya telah
dijelaskan bahwa objek filsafat yaitu yang ada dan yang mungkin ada. Pertanyaannya
adalah apa yang dimaksud dengan yang ada dan yang mungkin ada? Berbicara
tentang yang ada dan yang mungkin ada itu tergantung bagi siapanya. “Ada
bagiku” belum tentu “ada bagimu” sebaliknya “ada bagimu” belum tentu “ada
bagiku”, “ada-ku” bisa saja “ada padamu” sebaliknya “ada-mu” bisa saja “ada
padaku”, dan bisa saja “ada padaku” dan “ada padamu”. “Ada bagiku yang belum
tentu ada padamu dan sebaliknya” berkaitan dengan hal yang sesungguhnya hanya
kita yang mengetahuinya namun belum diketahui oleh orang lain dan sebaliknya.
Namun dilihat dari potensinya yang “ada padaku bisa saja ada padamu dan
sebaliknya”. Sedangkan ada padaku dan ada padamu berkaitan dengan hal yang sama-sama
diketahui. Secara quantitas yang ada dan yang mungkin ada itu tak berhingga
banyaknya.
Pada hakekatnya belajar filsafat
adalah mengadakan yang mungkin ada menjadi ada. Pertanyaannya adalah bagaimana
yang mungkin ada menjadi ada? Sebagai contoh, misalnya kita ingin mengetahui
hasil pengumuman penerimaan mahasiswa baru pascasarjana UNY tahun 2015 yang sebelumnya
belum pernah kita ketahui. Pada titik ini hasil pengumuman tersebut adalah
sesuatu yang “tidak ada pada kita (pikiran kita)” namun dilihat dari potensinya
“bisa saja ada” atau “mungkin ada pada kita (pikiran kita)”. Selanjutnya
melalui membaca pengumuman di website pasca UNY atau diberitahu oleh orang lain
kita akhirnya mengetahui apa hasil pengumuman tersebut. Hal ini berarti bahwa
hasil pengumuman yang awalnya “mungkin ada” pada kita (pikiran kita) menjadi
“ada” pada kita (pikiran kita). Menurut bapak Marsigit, mengadakan yang mungkin
ada menjadi ada bisa dalam banyak cara yang diantaranya melalui penglihatan,
pendengaran, sentuhan, membaca, dan seterusnya. Beliau mengatakan bahwa jika
kita dapat menyebutkan salah satu ciri dari suatu hal maka hal tersebut sudah
ada bagi kita (dalam pikiran kita). Beliau juga mengatakan bahwa yang ada dan
yang mungkin ada dalam pikiran kita adalah wadah berisi yang mana isinya juga
merupakan wadah yang berisi dan seterusnya. Contohnya rambut hitam, rambut
adalah wadah dan hitam adalah isinya, selanjutnya hitam itu ada yang kelam dimana hitam adalah wadah dan kelam adalah isinya, dan seterusnya. Hal ini menunjukan
ciri atau karakteristik dari yang ada dan mungkin ada itu tak berhingga
banyaknya.
Ada 2 masalah dalam filsafat yaitu
: “jika yang dipikirkan ada di luar pikiran kita, bagaimana kita memahaminya?”
dan “jika yang dipikirkan ada di dalam pikiran kita, bagaimana kita
menjelaskannya?”. Menurut bapak Marsigit, jika kita mampu mengerti dan
menjelaskan kedua masalah tersebut dengan sempurna maka kita sudah tidak hidup
lagi. Beliau mengatakan bahwa manusia bisa hidup karena kertidaksempurnaannya.
Contohnya : manusia tidak bisa merasakan segala macam perasaan sekaligus dalam
waktu yang bersamaan, manusia mendengar bunyi hanya terbatas pada frekuensi
tertentu, dan lain sebagainya. Beliau juga mengatakan bahwa hidup ini hanyalah
berusaha menuju kesempurnaan atau berusaha melengkapi ketidaksempurnaan tetapi
tidak akan pernah mencapai kesempurnaan itu sendiri. Beliau juga menambahkan
bahwa hidup kita ini tidak konsisten dalam kekonsitensiannya dan konsisten
dalam ketidakkonsistensiannya. Menurut Immanuel Kant, prinsip berpikir di dunia
ini ada 2 yaitu Kontradiksi dan Identitas. Prinsip kontradiksi menyatakan bahwa
Subjek tidak sama dengan Predikat. Contohnya rambut hitam, sampai kapanpun
rambut tidak akan pernah sama dengan hitam dan hitam tidak akan pernah sama
dengan rambut. Rambut adalah subjek yang juga merupakan wadah, dan hitam adalah
predikat yang juga merupakan isi. Selanjutnya prinsip identitas, prinsip
identitas berbeda jika dilihat dari sudut pandang matematika murni dan
filsafat. Prinsip indentitas dalam ilmu matematika menyatakan bahwa A = A.
Sedangkan prinsip identitas dalam filsafat menyatakan bahwa A ≠
A. Hal ini terjadi karena filsafat mementingkan ruang dan waktu sedangkan ilmu matematika
tidak. Dalam filasafat A ≠ A karena berdasarkan ruang dan waktu keduanya berbeda, salah
satu perbedaannya yaitu “A yang pertama” lebih dulu disebutkan dan “A yang
kedua” disebutkan setelah “A yang pertama”. Berkaitan dengan ruang dan waktu, menurut
bapak Marsigit secara filsafat matematika hanya terdiri atas aritmatika yang
merupakan waktu dan geometri yang merupakan ruang, sedangkan sisanya merupakan
kombinasi dari keduanya.
0 komentar:
Posting Komentar