Perkuliahan dilaksanakan pada
hari Selasa tanggal 29 September 2015 (pertemuan keempat) dan pada hari Selasa tanggal 13 Oktober
2015 (pertemuan kelima), di Kelas PM A ruang 305B Gedung Pascasarjana Lama Universitas Negeri
Yogyakarta. Dosen pengampu Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Kegiatan
perkuliahan diawali dengan berdoa, setelah itu dilakukan tes jawab singkat. Selanjutnya dilakukan
kegiatan tanya jawab. Berikut pertanyaan-pertanyaan dari teman-teman mahasiswa.
1. Bagaimana pandangan filsafat tentang orang yang
mencari zat Tuhan dengan menggunakan teknologi ?
2.
Apakah jodoh bersifat relatif ?
3.
Setiap manusia memiliki tujuan hidup, bagaimana
jika tujuan tersebut tidak tercapai ?
4.
Kenapa matematika disebut koherentisme ?
5.
Bagaimana para filsuf menjawab ketidakpastian
dalam hidupnya ?
Berikut yang dapat
saya simpulkan dari penjelasan pak Marsigit atas pertanyaan-pertanyaan di atas.
1. Filsafat itu diekstensikan dari satu agama ke
agama yang lain. Dalam agama Hindu, semua zat itu adalah sakral. Artinya semua
zat berada di dalam pengaruh kuasa Tuhan. Hal ini juga sesuai dengan pendapat
para filsuf pada zaman Yunani kuno yang mengatakan bahwa dunia ini tercipta
karena kuasa Tuhan. Tubuh kita ini, kepala kita, rambut kita dan sebagainya
juga adalah zat Tuhan atau dikarenakan kuasa Tuhan. Dengan demikian jika dipandang
dari sisi filsafat, bukanlah suatu hal yang mengherankan jikalau ada orang yang
menemukan zat Tuhan. Orang yang mencari atau menemukan zat Tuhan, sudah
memiliki konsep atau pemikiran tentang Tuhan. Dalam filsafat, konsep merupakan
sifat-sifat yang terkandung di dalam wadah dan isi. Wadah adalah setiap yang
dapat dipikirkan dan isi adalah setiap yang dapat disebutkan. Konsep Tuhan
dalam filsafat disebut sebagai kausa prima yaitu sebab pertama dan sebab utama
sehingga orang yang mencari zat Tuhan sesungguhnya mencari zat utama dan zat
pertama. Menemukan zat Tuhan adalah potensi. Jadi, sebenar-benar dunia adalah
interaksi sintesis antara “takdir dan ikhtiar” atau “pasrah dan berusaha” dan
sebenar-benar hidup adalah interaksi sintesis antara “doa dan usahamu”.
2. Filsafat itu adalah olah pikir yang berdimensi
dari yang paling rendah yaitu material, di atasnya material ada formal, di atas
formal ada normatif, dan di atas normatif ada spiritual yang merupakan dimensi
yang paling tinggi. Berbicara jodoh, tergantung bagaimana kita
mendefinisikannya, apakah sebagai perkawinan atau pernikahan atau percintaan.
Misalkan kita definisikan jodoh itu sebagai pernikahan. Secara filsafat
pernikahan itu adalah struktur lengkap yang berdimensi dari material sampai
pada spiritual. Artinya ada bagian yang tidak mampu kita pikirkan. Karena
sehebat-hebat pikiran kita, tidaklah mampu menjelaskan secara total
spiritualitas. Spiritual itu dari langit turun ke bumi, sedangkan filsafat itu hanya
dari bumi menggapai langit dan tidak akan pernah sampai. Berbicara jodoh,
tidaklah cukup jika hanya dilihat dari sisi dunia atau dipikirkan saja karena akan
menimbulkan banyak variasi dan pasti akan banyak salahnya. Misalkan jodoh itu
diterjemahkan sebagai cinta, artinya yang penting saling mencintai maka bisa
hidup bersama meskipun tidak melalui proses pernikahan. Hal ini jelas adalah
suatu kesalahan dan bisa terjadi karena jodoh hanya dipandang dari sisi dunia
saja atau dari sisi pikiran saja. Karena itu, diperlukan tuntunan spritualitas
yaitu dengan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
3. Tujuan itu merupakan idealis. Artinya hanya ada
dalam pikiran. Tercapai atau tidak tercapai suatu tujuan dilihat dari sisi
kenyataannya. Dalam perspektif filsafat, tujuan dapat dipahami melalui berbagai
cara, salah satunya dengan pendekatan tesis dan anti tesis. Usaha, berpikir,
dan hidup tidak lain dan tidak bukan adalah dua hal atau lebih yang
disintesiskan. Misalnya sintesis antara berhasil dengan tidak berhasil,
sintesis antara kenyataan dengan tujuan, sintesis antara takdir dengan fakta,
dan sintesis antara sehat dengan sakit. Jika dinaikkan ke dimensi spiritual,
maka semuanya bersifat relatif atau tidak ada yang absolut. Kriteria
keberhasilan dalam spiritual itu mempunyai perpektif yang lain dan manusia
tidak mengerti dan memahaminya. Jika kita gagal namun tetap tawakal dan tetap
berusaha maka mungkin kita akan menemukan keberhasilan dari segmen dan karakter
yang berbeda. Jadi, belum terpenuhi atau belum tercapai itu sangat relatif.
Karena sangat relatif maka kita harus berhati-hati dalam mengambil kesimpulan,
artinya secara spiritual maka kesimpulan kita kepada Tuhan haruslah kesimpulan
yang positif. Artinya jangan tergesa-gesa mengklaim bahwa kita gagal maupun
berhasil. Karena jika kita mengeklaim bahwa kita gagal atau sudah berhasil,
sama artinya kita mendahului kehendak Tuhan. Dalam filsafat, hal ini disebut tidak
sesuai ruang dan waktu karena merasa mengerti padahal belum mengerti. Karena
itu, perjuangan dari berfilsafat adalah merefleksikan diri bagaimana mengerti
bahwa kita belum mengerti sehingga kita dapat berpikir, bertindak, dan bersikap
sesuai dengan ruang dan waktu.
4. Hal ini berkaitan dengan matematika murni.
Matematika murni itu terdiri dari definisi, aksioma, dan teorema. Misalkan
teorema, suatu teorema itu harus sesuai dan identik dengan teorema-teorema
sebelumnya. Kesesuaian antara teorema satu dengan teorema yang lain inilah yang
disebut dengan konsisten yang dalam filsafat dikenal dengan istilah
koherentisme. Koherentisme hanya berada atau terjadi di dalam pikiran kita.
Karena itu matematika murni disebut koherentisme.
5. Hal ini berkaitan dengan persolan yang dihadapi
dalam berfilsafat. Dalam berfilsafat hanya ada dua persoalan yaitu “jika yang
engkau pikirkan berada di dalam pikiranmu maka bagaimana engkau
menjelaskannya?” dan “jika yang engkau pikirkan berada di luar pikranmu maka
bagaimana engkau mengertinya?”. Namun, sehebat apapun kita sebagai manusia,
tidak akan mampu menjelaskan pikiran kita, begitupun juga para filsuf tidak
akan mampu menjawab secara tuntas tentang ketidakpastian dalam hidupnya.
0 komentar:
Posting Komentar