Perkuliahan dilaksanakan pada
hari Selasa tanggal 20 Oktober 2015, di Kelas PM A ruang 305B Gedung
Pascasarjana Lama Universitas Negeri Yogyakarta. Dosen pengampu Prof. Dr.
Marsigit, M.A.
Kegiatan
perkuliahan diawali dengan berdoa, kemudian dilakukan tes jawab singkat.
Setelah itu, dilakukan kegiatan tanya jawab. Berikut pertanyaan dari
teman-teman mahasiswa dan rangkuman saya atas penjelasan pak Marsigit tentang
pertanyaan tersebut.
1. Bagaimana
menjelaskan dimensi batu yang secara filsafat terdiri dari dimensi material,
formal, normatif, dan spiritual ?
Penjelasan :
Dimensi tersebut merupakan struktur dan
struktur tersebut hanya sebagian kecil dari bermilyar-milyar pangkat semilyar
struktur dari yang ada dan yang mungkin ada. Struktur itu tidak hanya banyak dan
beragam jenisnya tetapi juga berstruktur. Dunia ini terdiri dari berbagai
struktur dan struktur sederhananya yaitu siang dan malam. Filsafat itu bersifat
intensif dan ekstensif yaitu dalam sedalam-dalamnya dan luas seluas-luasnya,
maka “atas dan bawah”, “kiri dan kanan”, “jauh dan dekat” juga merupakan
struktur. Namun jika kita ingin mengidentifikasi struktur-struktur tersebut
maka tidak akan pernah selesai. Karena itu kita perlu mengambil struktur yang
istimewa, strategis dan potensial. Seperti halnya senjata, segala sesuatu itu bisa
untuk senjata termasuk batu, gorden, lampu, dan oksigen. Namun dari sisi efektif
dan efisien, yang dijadikan senjata yaitu mulai dari pisau sampai senjata api
dan senjata laser. Begitupun dalam memperlajari filsafat, ada struktur yang
bermanfaat, yang efisien dan efektif, yang bisa kita pakai yaitu material,
formal, normatif, dan spiritual. Begitupun hidup, sifat daripada hidup juga
bermilyar-milyar. Misalnya hidup baik dan sukses, kriteria baik dan sukses itu
bermilyar-milyar banyaknya sehingga kita perlu untuk mereduksinya menjadi baik
dan sukses pada umumnya dewasa ini. Secara filsafat kriteria baik dan sukses
yaitu sopan dan santun menurut ruang dan waktu. Sopan dan santun terhadap ruang
dan waktu ternyata bukan sesuatu yang tetap atau diam tetapi sesuatu yang
seimbang antara diam dan tetap, atau bahasa orang awan disebut menembus ruang
dan waktu. Menembus ruang dan waktu, jangankan manusia, hewan, dan tumbuhan,
batu pun yang hanya diam dapat juga menembus ruang dan waktu. Karena baik sadar
maupun tidak, diam-diam batu pun mengikuti kalender dan yang menyadarinya
adalah subyeknya. Namun yang jadi masalah yaitu bagaimana memiliki keterampilan
untuk menembus ruang dan waktu. Agar dapat menembus ruang dan waktu, kita
memerlukan perbendaharaan kata. Secara filsafat, sebenar-benar dunia adalah
bahasa maka dunia itu adalah kata-katamu dan sebenar-benar kata-katamu adalah
duniamu. Jika dari dunia dinaikkan ke atas menjadi spiritual, maka kata-katamu
itu adalah doamu. Jadi, perjuangan hidup yang benar adalah menembus ruang dan waktu
yang bijaksana dan setiap orang berbeda-beda kemampuannya dalam menembus ruang
dan waktu.
2. Bagaimana pandangan filsafat terhadap orang yang
tidak percaya atau tidak dapat memberikan kepercayaan kepada orang lain ?
Penjelasan :
Percaya
itu ada di dalam dan ada di luar hubungan. Ada di dalam hubungan artinya kita
sebagai subjek dan ada di luar hubungan artinya kita sebagai objek. Jikalau
subjeknya diri kita maka selain diri kita adalah objeknya atau sifat-sifatnya.
Percaya di hati naik ke pikiran dan benar di pikiran turun ke hati, maka dalam
berilsafat adalah mencari kepastian dan kebenaran. Namun setelah kita mencari
kepastian maka kita terjebak dalam ruang dan waktu yang salah atau mitos.
Kepastian itulah mitos kecuali keyakinan kita di dalam spiritual, karena hal
itu adalah keyakinan sedangkan mitos adalah sebatas pemikiran kita. Karena itu,
berfilsafat adalah membongkar kepastian-kepastian itu. Tidak percaya itu punya alirannya. Jika kita
membangun ketidakpercayaan maka jadilah dunia ketidakpercayaan yang dalam filsafat
disebut skpetisisme dengan tokoh filsafatnya yaitu Rene Decartes. Ia meragukan
segala sesuatu bahkan meragukan Tuhan, ia menganggap segala sesuatu sebagai
mimpi sehingga ia mencari kepastian. Namun pada akhirnya ia menemukan bahwa
satu-satunya kepastian yang tidak bisa dibantah yaitu bahwa ia sedang bertanya
atau sedang memikirkannya. Ia menyadari bahwa sesungguhnya ia tidak sedang
bermimpi karena ia yang sedang memikirkannya dan itu menandakan bahwa ia ada
atau nyata. Dengan demikan ia menyimpulkan bahwa “aku ada karena aku berpikir”.
Hal ini jika diekstensikan menjadi aku ada karena aku berkarya dan aku ada
karena aku menghasilkan. Itulah mengapa ada konsep tentang “ada, mengada, dan
pengada”. Filsafat itu bukanlah berada di Yunani maupun di Rene Descartes
melainkan ada pada diri kita sendiri. Ketika kita tidak percaya, itu hanyalah
diri kita yang kemarin atau di masa lalu dan sekarang bisa berbeda atau berubah
menjadi diri kita yang percaya baik terhadap seseorang maupun terhadap suatu
hal.
0 komentar:
Posting Komentar