Pages

Minggu, 08 November 2015

Refleksi Kuliah Filsafat Ilmu (Pertemuan Keenam)

Perkuliahan dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 20 Oktober 2015, di Kelas PM A ruang 305B Gedung Pascasarjana Lama Universitas Negeri Yogyakarta. Dosen pengampu Prof. Dr. Marsigit, M.A.

Kegiatan perkuliahan diawali dengan berdoa, kemudian dilakukan tes jawab singkat. Setelah itu, dilakukan kegiatan tanya jawab. Berikut pertanyaan dari teman-teman mahasiswa dan rangkuman saya atas penjelasan pak Marsigit tentang pertanyaan tersebut.
1.   Bagaimana menjelaskan dimensi batu yang secara filsafat terdiri dari dimensi material, formal, normatif, dan spiritual ?
Penjelasan :
Dimensi tersebut merupakan struktur dan struktur tersebut hanya sebagian kecil dari bermilyar-milyar pangkat semilyar struktur dari yang ada dan yang mungkin ada. Struktur itu tidak hanya banyak dan beragam jenisnya tetapi juga berstruktur. Dunia ini terdiri dari berbagai struktur dan struktur sederhananya yaitu siang dan malam. Filsafat itu bersifat intensif dan ekstensif yaitu dalam sedalam-dalamnya dan luas seluas-luasnya, maka “atas dan bawah”, “kiri dan kanan”, “jauh dan dekat” juga merupakan struktur. Namun jika kita ingin mengidentifikasi struktur-struktur tersebut maka tidak akan pernah selesai. Karena itu kita perlu mengambil struktur yang istimewa, strategis dan potensial. Seperti halnya senjata, segala sesuatu itu bisa untuk senjata termasuk batu, gorden, lampu, dan oksigen. Namun dari sisi efektif dan efisien, yang dijadikan senjata yaitu mulai dari pisau sampai senjata api dan senjata laser. Begitupun dalam memperlajari filsafat, ada struktur yang bermanfaat, yang efisien dan efektif, yang bisa kita pakai yaitu material, formal, normatif, dan spiritual. Begitupun hidup, sifat daripada hidup juga bermilyar-milyar. Misalnya hidup baik dan sukses, kriteria baik dan sukses itu bermilyar-milyar banyaknya sehingga kita perlu untuk mereduksinya menjadi baik dan sukses pada umumnya dewasa ini. Secara filsafat kriteria baik dan sukses yaitu sopan dan santun menurut ruang dan waktu. Sopan dan santun terhadap ruang dan waktu ternyata bukan sesuatu yang tetap atau diam tetapi sesuatu yang seimbang antara diam dan tetap, atau bahasa orang awan disebut menembus ruang dan waktu. Menembus ruang dan waktu, jangankan manusia, hewan, dan tumbuhan, batu pun yang hanya diam dapat juga menembus ruang dan waktu. Karena baik sadar maupun tidak, diam-diam batu pun mengikuti kalender dan yang menyadarinya adalah subyeknya. Namun yang jadi masalah yaitu bagaimana memiliki keterampilan untuk menembus ruang dan waktu. Agar dapat menembus ruang dan waktu, kita memerlukan perbendaharaan kata. Secara filsafat, sebenar-benar dunia adalah bahasa maka dunia itu adalah kata-katamu dan sebenar-benar kata-katamu adalah duniamu. Jika dari dunia dinaikkan ke atas menjadi spiritual, maka kata-katamu itu adalah doamu. Jadi, perjuangan hidup yang benar adalah menembus ruang dan waktu yang bijaksana dan setiap orang berbeda-beda kemampuannya dalam menembus ruang dan waktu.
2.  Bagaimana pandangan filsafat terhadap orang yang tidak percaya atau tidak dapat memberikan kepercayaan kepada orang lain ?
      Penjelasan :
    Percaya itu ada di dalam dan ada di luar hubungan. Ada di dalam hubungan artinya kita sebagai subjek dan ada di luar hubungan artinya kita sebagai objek. Jikalau subjeknya diri kita maka selain diri kita adalah objeknya atau sifat-sifatnya. Percaya di hati naik ke pikiran dan benar di pikiran turun ke hati, maka dalam berilsafat adalah mencari kepastian dan kebenaran. Namun setelah kita mencari kepastian maka kita terjebak dalam ruang dan waktu yang salah atau mitos. Kepastian itulah mitos kecuali keyakinan kita di dalam spiritual, karena hal itu adalah keyakinan sedangkan mitos adalah sebatas pemikiran kita. Karena itu, berfilsafat adalah membongkar kepastian-kepastian itu. Tidak percaya itu punya alirannya. Jika kita membangun ketidakpercayaan maka jadilah dunia ketidakpercayaan yang dalam filsafat disebut skpetisisme dengan tokoh filsafatnya yaitu Rene Decartes. Ia meragukan segala sesuatu bahkan meragukan Tuhan, ia menganggap segala sesuatu sebagai mimpi sehingga ia mencari kepastian. Namun pada akhirnya ia menemukan bahwa satu-satunya kepastian yang tidak bisa dibantah yaitu bahwa ia sedang bertanya atau sedang memikirkannya. Ia menyadari bahwa sesungguhnya ia tidak sedang bermimpi karena ia yang sedang memikirkannya dan itu menandakan bahwa ia ada atau nyata. Dengan demikan ia menyimpulkan bahwa “aku ada karena aku berpikir”. Hal ini jika diekstensikan menjadi aku ada karena aku berkarya dan aku ada karena aku menghasilkan. Itulah mengapa ada konsep tentang “ada, mengada, dan pengada”. Filsafat itu bukanlah berada di Yunani maupun di Rene Descartes melainkan ada pada diri kita sendiri. Ketika kita tidak percaya, itu hanyalah diri kita yang kemarin atau di masa lalu dan sekarang bisa berbeda atau berubah menjadi diri kita yang percaya baik terhadap seseorang maupun terhadap suatu hal.  

0 komentar:

Posting Komentar