Objek
pikir filsafat adalah yang ada dan yang mungkin ada. Pertanyaannya adalah apa
yang kita pikirkan dari yang ada dan yang mungkin ada itu? Memikirkan yang ada
dan yang mungkin ada itu adalah memikirkan sifat-sifatnya dan hubungan antara
sifat-sifatnya serta sturkturnya. Sementara yang ada dan yang mungkin ada itu
memiliki lebih dari semilyar pangkat semilyar sifat yang mana kita tidak pernah
mampu untuk selesai menyebutkannya. Karena itu, untuk memikirkan sifat-sifat
dari yang ada dan yang mungkin ada itu, kita menggunakan cara berpikir reduksi
sehingga dalam filsafat muncul aliran reduksionisme. Sebagai manusia kita
memiliki sifat reduksifis, artinya kita memilih sifat-sifat dari apa yang kita
pikirkan tergantung dari tujuan kita berpikir, misalnya untuk membangun ilmu,
membangun kepercayaan, membangun rumah tangga, dan lain sebagainya. Misalnya
kita memilih dua sifat yang saling berantitesis dari yang ada dan yang mungkin
ada yaitu TETAP dan BERUBAH. TETAP itu, misalnya kita sebagai manusia entah kita
itu kecil, besar, dewasa, tua, muda, anak-anak, dsb.. tetap saja manusia. Sedangkan
yang BERUBAH itu, sebagai manusia kita selalu mengalami perubahan dari watu ke
waktu. Dalam filsafat, Yang TETAP itu memiliki aliran filsafatnya yaitu Pemenidesianisme
dengan tokohnya Permenides. Sedangkan aliran filasafat Yang BERUBAH itu yaitu Heracelitosianisme
dengan tokohnya Heracelitos. Berdasarkan letaknya, Yang TETAP itu berada di
dalam pikiran sedangkan yang BERUBAH itu berada di luar pikiran.
Yang
di dalam pikiran itu bersifat absolut atau ideal sehingga ada aliran filsafat absolutisme
atau idealisme dengan tokohnya Plato, aliran filsafat ini juga disebut sebagai filsafat
platoisme. Yang di luar pikiran bersifat relative dan bersifat kontradiksi
yaitu “I ≠ I” karena peduli dengan ruang dan waktu. Yang berada di luar pikiran
berkaitan dengan dunia persepsi yaitu dapat ditangkap oleh indera manusia dan
bersifat kongkrit sehingga kebenarannya bersifat korespondensi atau cocok, sehingga
munculah aliran filsafat korespondensianisme. Yang berada di luar pikiran itu bersifat
sintektik, artinya yang di luar pikiran itu saling berkemistri. Sintetik
mencakup tiga perkara yaitu (1) adanya saling terhubung, artinya tiadalah benda
yang satu tidak terhubung dengan yang lain; (2) berlaku hukum sebab-akibat; dan
(3) dapat dipersepsi. Karena bersifat sintetik maka secara otomatis bersifat
aposteriori sehingga keduanya saling berkemistri. Sintetik aposteriori berarti
bahwa kita akan dapat memahami suatu hal jika terlebih dahulu kita
mempersepsikannya atau mengalaminya. Sintetik apriori merupakan hasil dari
empiris, sehingga lahirlah aliran empirisisme dengan tokohnya David Hume.
Yang
di luar pikiran itu bersifat real atau nyata sehingga muncul aliran filsafat realisme
dengan tokohnya Aristoteles. Yang berada di dalam pikiran itu bersifat tetap
atau identitas yaitu “I = I”. Yang berada di dalam pikiran itu bersifat abstrak
dan nilai kebebenarannya mengutamakan atau mementingkan kekonsistensian. Artinya
suatu hal bisa menjadi ilmu jika hal tersebut selalu konsisten sekalipun tidak
memiliki makna. Yang di dalam pikiran itu bersifat analtik, artinya “yang
penting logis”. Karena bersifat analitik maka secara otomatis bersifat juga
apriori, artinya karena cukup logis dalam pikiran pikiran kita, maka pikiran
kita dapat melanjutkan ide yang logis tersebut pada ide berikutnya yang wujudnya
entah seperti apa. Oleh sebab itu, analitik itu berkemistri dengan apriori dan disebut
sebagai analitik apriori, yang berarti bahwa kita dapat memahami suatu hal hanya
dengan memikirkannya saja atau tanpa mempersepsikannya terlebih dahulu.
Analitik apriori inilah yang merupakan cara berpikir yang didasarkan pada rasio
sehingga muncul aliran filsafat rasionalisme dengan tokohnya Rene Descartes.
Pada
akhir abad XV, terjadi perdebatan dan pertentangan hebat di antara penganut
aliran rasionalisme dan penganut aliran empirisisme. Rene Descartes dengan
aliran rasionalisme menyatakan bahwa tidalah ilmu jika tidak berdasarkan rasio.
Sedangkan David Hume dengan aliran empirisismenya menyatakan bahwa tiadalah
ilmu jika tidak dibangun di atas dasar pengalaman. Pertentangan ini terus
berlanjut sampai suatu ketika munculah Immanuel Kant yang kemudian menjadi juru
damai dengan menyatukan kedua pandangan tersebut. Immanuel Kant menyatakan
bahwa baik rasionalisme maupun empirisisme hanya mengandung separuh kebenaran,
artinya tidaklah cukup jika hanya mengandalkan rasio dan tidaklah cukup jika
hanya menggunakan pengalaman saja. Dengan mengambil apriorinya Rene Descartes
dan sintetiknya David Hume, Immanuel Kant menyatakan bahwa sebenar-benar ilmu
adalah sintetik apriori, yang berarti bahwa sebenar-benar ilmu adalah “pengalaman
yang dipikirkan” dan “pikiran yang diterapkan”.
0 komentar:
Posting Komentar