Pages

Minggu, 29 November 2015

Refleksi Kuliah Filsafat Ilmu (Pertemuan Kedelapan)

Objek pikir filsafat adalah yang ada dan yang mungkin ada. Pertanyaannya adalah apa yang kita pikirkan dari yang ada dan yang mungkin ada itu? Memikirkan yang ada dan yang mungkin ada itu adalah memikirkan sifat-sifatnya dan hubungan antara sifat-sifatnya serta sturkturnya. Sementara yang ada dan yang mungkin ada itu memiliki lebih dari semilyar pangkat semilyar sifat yang mana kita tidak pernah mampu untuk selesai menyebutkannya. Karena itu, untuk memikirkan sifat-sifat dari yang ada dan yang mungkin ada itu, kita menggunakan cara berpikir reduksi sehingga dalam filsafat muncul aliran reduksionisme. Sebagai manusia kita memiliki sifat reduksifis, artinya kita memilih sifat-sifat dari apa yang kita pikirkan tergantung dari tujuan kita berpikir, misalnya untuk membangun ilmu, membangun kepercayaan, membangun rumah tangga, dan lain sebagainya. Misalnya kita memilih dua sifat yang saling berantitesis dari yang ada dan yang mungkin ada yaitu TETAP dan BERUBAH. TETAP itu, misalnya kita sebagai manusia entah kita itu kecil, besar, dewasa, tua, muda, anak-anak, dsb.. tetap saja manusia. Sedangkan yang BERUBAH itu, sebagai manusia kita selalu mengalami perubahan dari watu ke waktu. Dalam filsafat, Yang TETAP itu memiliki aliran filsafatnya yaitu Pemenidesianisme dengan tokohnya Permenides. Sedangkan aliran filasafat Yang BERUBAH itu yaitu Heracelitosianisme dengan tokohnya Heracelitos. Berdasarkan letaknya, Yang TETAP itu berada di dalam pikiran sedangkan yang BERUBAH itu berada di luar pikiran.
Yang di dalam pikiran itu bersifat absolut atau ideal sehingga ada aliran filsafat absolutisme atau idealisme dengan tokohnya Plato, aliran filsafat ini juga disebut sebagai filsafat platoisme. Yang di luar pikiran bersifat relative dan bersifat kontradiksi yaitu “I ≠ I” karena peduli dengan ruang dan waktu. Yang berada di luar pikiran berkaitan dengan dunia persepsi yaitu dapat ditangkap oleh indera manusia dan bersifat kongkrit sehingga kebenarannya bersifat korespondensi atau cocok, sehingga munculah aliran filsafat korespondensianisme. Yang berada di luar pikiran itu bersifat sintektik, artinya yang di luar pikiran itu saling berkemistri. Sintetik mencakup tiga perkara yaitu (1) adanya saling terhubung, artinya tiadalah benda yang satu tidak terhubung dengan yang lain; (2) berlaku hukum sebab-akibat; dan (3) dapat dipersepsi. Karena bersifat sintetik maka secara otomatis bersifat aposteriori sehingga keduanya saling berkemistri. Sintetik aposteriori berarti bahwa kita akan dapat memahami suatu hal jika terlebih dahulu kita mempersepsikannya atau mengalaminya. Sintetik apriori merupakan hasil dari empiris, sehingga lahirlah aliran empirisisme dengan tokohnya David Hume.
Yang di luar pikiran itu bersifat real atau nyata sehingga muncul aliran filsafat realisme dengan tokohnya Aristoteles. Yang berada di dalam pikiran itu bersifat tetap atau identitas yaitu “I = I”. Yang berada di dalam pikiran itu bersifat abstrak dan nilai kebebenarannya mengutamakan atau mementingkan kekonsistensian. Artinya suatu hal bisa menjadi ilmu jika hal tersebut selalu konsisten sekalipun tidak memiliki makna. Yang di dalam pikiran itu bersifat analtik, artinya “yang penting logis”. Karena bersifat analitik maka secara otomatis bersifat juga apriori, artinya karena cukup logis dalam pikiran pikiran kita, maka pikiran kita dapat melanjutkan ide yang logis tersebut pada ide berikutnya yang wujudnya entah seperti apa. Oleh sebab itu, analitik itu berkemistri dengan apriori dan disebut sebagai analitik apriori, yang berarti bahwa kita dapat memahami suatu hal hanya dengan memikirkannya saja atau tanpa mempersepsikannya terlebih dahulu. Analitik apriori inilah yang merupakan cara berpikir yang didasarkan pada rasio sehingga muncul aliran filsafat rasionalisme dengan tokohnya Rene Descartes.
Pada akhir abad XV, terjadi perdebatan dan pertentangan hebat di antara penganut aliran rasionalisme dan penganut aliran empirisisme. Rene Descartes dengan aliran rasionalisme menyatakan bahwa tidalah ilmu jika tidak berdasarkan rasio. Sedangkan David Hume dengan aliran empirisismenya menyatakan bahwa tiadalah ilmu jika tidak dibangun di atas dasar pengalaman. Pertentangan ini terus berlanjut sampai suatu ketika munculah Immanuel Kant yang kemudian menjadi juru damai dengan menyatukan kedua pandangan tersebut. Immanuel Kant menyatakan bahwa baik rasionalisme maupun empirisisme hanya mengandung separuh kebenaran, artinya tidaklah cukup jika hanya mengandalkan rasio dan tidaklah cukup jika hanya menggunakan pengalaman saja. Dengan mengambil apriorinya Rene Descartes dan sintetiknya David Hume, Immanuel Kant menyatakan bahwa sebenar-benar ilmu adalah sintetik apriori, yang berarti bahwa sebenar-benar ilmu adalah “pengalaman yang dipikirkan” dan “pikiran yang diterapkan”.

0 komentar:

Posting Komentar